BERITA SUMEDANG.ruber.id – Mengenang cerita penggenangan Waduk Jatigede. Peristiwa ini nyata terjadi, pasca-penggenangan Waduk Jatigede pada tahun 2015, silam.
Siang menjelang sore itu, terik matahari masih terasa menyengat kulit. Beberapa warga terlihat sibuk membongkar rumah, sementara di sudut yang lainnya, warga juga tampak sibuk dengan aktivitas mereka menebang pohon.
Cerita Nani Bantu Orangtua Ternak Sapi
Di tengah-tengah kesibukan itu, di belakang rumah panggung di Dusun/Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang. Tampak seorang remaja putri berparas cantik, berkulit putih dengan rambut hitam panjang terikat ke belakang terlihat sibuk. Memberi pakan ternak untuk dua ekor sapi yang berada di sebuah kandang berukuran kurang lebih 2×3 meter persegi.
Ternyata, aktivitas tersebut sudah, Nani Rohaeti, 15, jalani sejak 2 tahun lalu. Tepatnya, sejak usia kelahiran sapi-sapi milik kedua orangtuanya itu di wilayah desa yang akan segera tergenang Waduk Jatigede.
“Sapi-sapi ini sudah saya urus sejak dua tahun lalu. Yang nyari rumput buat pakannya memang kakak-kakak saya, tapi yang ngasih makan hingga mandiin sapi hampir setiap hari saya yang kerjakan,” ujar anak keempat dari 4 bersaurada. Pasangan Karnasih dan Muhidin, warga Dusun/Desa Cipaku ini, saat tengah asyik memberi pakan sapi, Senin (7/9/2015) silam.
Remaja putri yang kala itu, duduk di bangku kelas 9 SMP Negeri 1 Darmaraja ini mengaku, tak pernah merasa minder dengan apa yang ia kerjakan.
Yaitu, membantu kedua orangtuanya beternak sapi. Mulai dari memandikan hingga memberi pakan untuk sapi-sapi tersebut.
“Setelah pulang sekolah kan tidak ada aktivitas lain, kalau tidak ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, langsung pulang, mandiin sapi sekaligus memberi pakan untuk sapi. Malamnya baru belajar,” ucapnya.
Sedih karena Sapi Harus Dijual
Sapi-sapi yang dirawatnya sejak lahir itu, kata dia, pada momen Idul Adha ini berencana untuk dijual.
Mengingat, dia bersama seluruh keluarganya juga harus segera meninggalkan dusun itu karena akan segera tergenang air.
“Sudah ada yang nawar Rp12 juta, katanya buat kurban. Tapi bapak juga nolak tawaran itu, karena harganya terlalu murah.”
“Mau dijual tapi Rp15 juta. Belum ada yang nawar lagi sampai sekarang,” sebutnya.
Dia mengaku, sapi-sapi yang dirawat dan dipeliharanya sepenuh hati itu, sebetulnya ingin terus dia pelihara.
Tapi orangtuanya, mengharuskan menjual sapi-sapi tersebut karena terdesak kebutuhan biaya untuk pindah, membeli tanah, dan membangun rumah di luar wilayah genangan.
“Belum mau pindah sih, kata bapak, pindahnya nanti habis Idul Adha. Karena sekarang uang untuk pindah belum cukup jadi bapak juga mau menjual sapi-sapi ini.”
“Karena belum tentu di tempat baru nanti bisa memelihara sapi lagi seperti di sini.”
“Bapak juga masih bingung pindahnya mau ke daerah mana, kalau saya ya mau ke mana pindahnya juga pasti ikut orangtua.”
“Tapi sedih aja kalau nanti gak bisa lagi pelihara sapi,” tuturnya.
Terpaksa Jual Sapi untuk Biaya Hidup di Tempat Baru
Muhidin, ayah Nani, mengaku hanya bisa pasrah karena harus meninggalkan tempat kelahiran sekaligus tempat penghidupan mereka di Desa Cipaku.
“Selain bertani, saya juga beternak sapi. Tapi karena kondisi, saya harus pindah, belum tau mau pindah ke mana-mana nya mah, tapi nanti lah setelah Idul Adha pindahnya.”
“Karena sekarang, uang kerohiman yang saya terima hanya Rp29 juta lebih, juga belum mencukupi untuk pindah, beli tanah dan bangun rumah di tempat baru,” ucapnya.
Muhidin pun mengaku sedih, karena harus menjual sapi-sapi yang telah diurus anak bungsunya ini sejak dua tahun yang lalu.
“Gak kerasa memang, sudah dua tahun usia sapi-sapi itu. Sudah dua tahun juga anak saya bantu ngurus sapi-sapi itu. Mulai mandiin, ngasih pakan, hingga bersih-bersih kandang.”
“Saya juga sebetulnya gak nyuruh dia buat ngurus sapi-sapi itu, tapi itu kemauannya sendiri.”
“Makanya sekarang sedih juga kalau sapi-sapi itu dijual, tapi kalau gak dijual gimana juga.”
“Uang buat pindah gak cukup, belum nanti buat biaya hidup di tempat baru, belum tentu masih bisa ngurus sapi, serba belum pasti karena keuangan yang pas-pasan,” ucapnya.
Dia saat ini hanya berharap, sapi-sapinya ini bisa terjual dengan harga wajar, sesuai pasaran.
“Kalau harga pasaran saya cek ke pasar di atas Rp15 jutaan, bahkan sampai Rp20 juta.”
“Dengan terpaksa, buat nambah-nambah biaya pindahan ya, saya pasti jual sapi-sapi itu kalau sudah ada yang nawar, harganya cocok.”
“Minimal bisa laku Rp15 juta lah, tapi sekarang yang datang nawar itu, mentang-mentang kami ini korban Waduk Jatigede dan terlihat butuh uang, yang datang ke sini nawarnya murah-murah.”
“Ada yang nawar Rp10 juta, kemarin ada juga yang nawar Rp12 juta, masih saya tolak.”
“Masih ada waktu lah sampai habis Idul Kurban tetap bertahan di sini,” katanya.
Penulis/Editor: Arsip R003