Mengenal Tokoh Reklamasi Sumedang Uha Juhari

Mengenal Tokoh Reklamasi Sumedang Uha Juhari
Uha Juhari melihat tanaman buah naganya yang mulai berbunga sejak memasuki musim penghujan belum lama ini. Dokumen ruber.id/2015

BERITA SUMEDANG.ruber.id – Uha Juhari, merupakan tokoh reklamasi yang berhasil menghijaukan kembali lahan kritis bekas galian C di wilayah Kaki Gunung Tampomas, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.

Pria kelahiran Dusun Golempang, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang, 20 Maret 1946 ini, telah meraih banyak penghargaan sebagai tokoh lingkungan hidup di tingkat nasional.

Penghargaan di bidang lingkungan hidup itu, Uha Juhari peroleh atas jerih payahnya dalam menghijaukan kembali lahan kritis bekas galian C. Yang telah ditinggalkan oleh segelintir pengusaha penambang pasir, tidak beranggungjawab di kawasan kaki Gunung Tampomas.

Meski pada akhirnya meraih banyak penghargaan, namun, tujuan utama dari ayah 8 orang anak ini adalah menghijaukan kembali lahan kritis bekas galian tersebut.

Hijaukan Kembali Lahan Kritis di Kaki Gunung Tampomas

Uha, menghijaukan kembali lahan kritis tersebut dengan cara menanam pohon buah naga dan beternak kambing etawa.

Lokasinya berada di Blok Siseureuh, Desa Cibeureum Wetan, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang.

Tak tanggung-tanggung, karena keuletannya ini, Uha berhasil menyulap puluhan hektare lahan kritis bekas galian C yang telah kritis ini, kembali menghijau dan menjadi lahan produktif.

Perjuangannya dalam mereklamasi lahan kritis ini, sudah Uha lakukan sejak tahun 1985 ini.

Warga Dusun Cibeureum RT 02/02, Desa Cibeureum, Cimalaka ini mengatakan, awalnya, ia melakukan reklamasi di lahan bekas galian C yang masih terbatas.

“Pada awalnya, belum seluas sekarang. Karena dulu, penambangan pasirnya juga masih secara manual, jadi lahannya masih sedikit,” kata Uha kepada wartawan, di lahan perkebunan buah naga miliknya pada tahun 2015, lalu.

Meski lahan galian C yang rusak tidak seluas saat ini, namun, dampak dari galian pasir manual ini juga menyebabkan lahan yang tadinya area perkebunan dan pertanian subur, menjadi lahan kritis yang gersang dan hanya menyisakan bebatuan.

Sejak saat itu pula, petani sekaligus peternak asal Kaki Gunung Tampomas ini, mengaku kehilangan lahan garapan.

“Petani di sini pada waktu itu ngeluh, karena kehilangan lahan garapan. Mereka yang berkebun tomat, hilang ladang tomatnya. Yang berkebun cabai, hilang lahannya.”

“Begitu pula mereka yang menanam padi, sama kehilangan lahan garapannya.”

“Tapi pada waktu itu, mayoritas petani di sini hanya bisa pasrah tanpa bisa berbuat apa pun,” katanya, anak dari pasangan Yahya Munaya dan Ukanah ini.

Berbekal Ilmu Praktis

Atas dasar keprihatinan ini pula dan berbekal ilmu praktis serta pengalamannya dalam bercocok tanam dan beternak kambing etawa. Uha berpikir keras supaya lahan kritis bekas galian ini dapat kembali produktif dan ditanami.

Baru sekitar tahun 1985-an, kata Uha, saat ia memiliki modal untuk membeli lahan bekas galian C ini, ia memulai usaha menghijaukan lahan kritis tersebut.

“Awalnya, saya beli lahan seluas 100 tumbak. Dan saat itu, hanya 100 tumbak saja lahan yang saya reklamasi.”

“Waktu itu, setelah lahan kritis yang hanya menyisakan bebatuan itu saya ratakan, berbagai bibit tanaman, dan tumbuh-tumbuhan saya coba tanam.”

“Kebanyakan, tanaman yang petani di sini tanam itu mati. Karena itu, banyak petani yang mundur, gak mau lagi garap lahan,” kata Uha.

Akan tetapi, meski hanya seorang diri, ia tetap bertahan dengan tujuan ingin lahannya kembali hijau dan produktif.

Tanam Cebreng hingga Buah Naga

Uha pun berpikir keras, bagaimana caranya supaya lahan kritis tersebut bisa kembali hijau.

Hingga pada akhirnya, Uha teringat akan pesan gurunya di Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD, red) pada tahun 1960-an.

“Saat di sekolah rakyat dulu, guru saya banyak diajari mengajari soal bertani dan bercocok tanam. Saya ingat pesan guru, yaitu ‘tanaman akan tumbuh subur bila ditanam di lahan subur’.”

“Dari pesan itu, kemudian lahan 100 tumbak yang telah saya ratakan itu, diberi gemuk pakai pupuk kandang. Hingga satu tahun percobaan itu, yang tumbuh dan bertahan hidup itu hanya tanaman cebreng (gamal, sejenis perdu dari kerabat polong-polongan),” ucap Uha.

Jadilah, lahan yang 100 tumbak itu Uha tanami dengan tanaman cebreng.

“Kebetulan, dulu bapak punya kambing etawa 4 ekor. Jadi, pohon cebreng itu bisa bermanfaat untuk pakan kambing etawa.”

“Hingga kambing-kambing itu, beranak pinak dan terus bertambah banyak,” tutur Uha.

Tahun 2004 Mulai Membuahkan Hasil

Singkat cerita, kata Uha, sekitar tahun 2004-an, langkah untuk kembali menghijaukan lahan kritis di sekitar kaki Gunung Tampomas ini mulai membuahkan hasil.

Itu, setelah ia mulai bercocok tanam bibit buah naga merah.

Dalam mengembangkan bibit buah naga merah ini, ia bekerjasama dengan investor asal Bandung.

“Buah naga kemudian saya tanam, dan ternyata mampu bertahan hidup dan menghasilkan produksi buah naga yang melimpah.”

“Meski modalnya besar, tapi keuntungan dari hasil produksi buah naga yang kami dapatkan itu berlipat ganda,” jelas Uha.

Mulai Dilirik Petani Lain

Lalu, setelah sukses menanam buah naga itu lah, petani lain mulai melirik kebun miliknya dan turut berkebun buah naga.

“Jadi, dari 1 hektare bisa ditanami 1000 tangkal buah naga dan menghasilkan buah naga sebanyak 5 hingga 7 ton sekali panen.”

“Sekali panen, minimal bisa menghasilkan Rp140 juta, dengan hitungan 1 Kg buah naga Rp20.000,” kata ayah delapan orang anak ini.

Hingga akhirnya, kata Uha, dari tahun ke tahun hingga tahun 2009, lahan bekas galian pasir yang berhasil ia reklamasi lebih dari 40 hektare.

Lalu, kata Uha, setelah berkembang menjadi daerah penghasil buah naga, atas usulan para petani lain di kaki Gunung Tampomas, Uha pun didaulat menjadi Ketua Kelompok Tani dan Ternak, Simpay Tampomas.

“Sejak saat itu pula, pemerintah mulai melirik, dan hampir setiap tahun bapak mendapat banyak penghargaan. Baik dari pemerintah, swasta hingga dari partai politik juga dapat.”

“Tapi bapak mah, nonpartai, hanya petani biasa yang ingin melihat lahan kembali hijau, subur,” kata Uha.

Sempat Dicuekin Pemkab Sumedang

Pada kenyataannya, Uha yang mengaku hanya seorang petani sekaligus peternak biasa ini telah meraih berbagai penghargaan.

Di antaranya penghargaan Perintis Lingkungan dari Gubernur Jawa Barat, hingga penghargaan tingkat nasional dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai tokoh lingkungan hidup.

Selain meraih berbagai penghargaan, lokasi perkebunan buah naga sekaligus ternak kambing etawa yang dikelolanya juga kerap dijadikan tempat studi banding. Baik oleh kalangan mahasiswa, hingga pemerintahan dari berbagai penjuru tanah air.

“Dari Aceh sampai Papua datang ke sini. Bagi bapak, senang saja bisa berbagi ilmu beternak dan bercocok tanam.”

“Bahkan, yang dari Belitung pun pernah datang ke sini guguru soal mereklamasi lahan kritis bekas aktivitas tambang,” sebut Uha.

Lucunya, kata Uha, Pemkab Sumedang tahun 2013 lalu, malah berkunjung ke Belitung untuk studi banding.

“Karena katanya, Belitung berhasil mereklamasi lahan bekas aktivitas tambang, rombongan Pemkab Sumedang pergi ke Belitung untuk berguru. Eh tahunya, kata orang Belitung, mereka juga berguru soal reklamasi lahan tambang itu di Sumedang, di Pak Uha.”

“Ngadangu eta, nya bapak mah hanya bisa ketawa. Pejabat Sumedang teh gening teu apal kana dirina,” kenang Uha.

Uha Juhari Minta Aktivitas Tambang Pasir Dihentikan

Aebetulnya, kata Uha, aktivitas tambang galian pasir di kawasan kaki Gunung Tampomas telah dihentikan oleh Pemkab Sumedang pada tahun 2006.

Namun, izin tambangnya kembali dibuka oleh Pemkab Sumedang pada tahun 2009.

“Tahun 2006, Pemkab Sumedang menghentikan izin tambang. Bagi kami itu, sebuah angin segar untuk mereklamasi seluruh bekas galian kembali hijau dan subur.”

“Tapi kemudian, tahun 2009, aktivitas galian pasir kembali diizinkan,” sesal Uha.

Dampaknya, kata Uha, saat ini 1/3 kaki Gunung Tampomas telah rusak oleh aktivitas penambangan pasir.

Sebab, aktivitas penambangan pasir saat ini sulit diimbangi oleh upaya reklamasi yang dilakukan oleh kelompoknya.

“Sekarang, alat berat mengeruk habis pasir di kaki Tampomas. Bahkan, hingga menggali pada kedalaman 20 meter dan ratusan truk hilir mudik mengangkut pasir dari sini.”

“Parah, kerusakannya sudah sangat parah. Dan sekarang ini, karena lahan yang ditambang terus meluas, tak sebanding dengan upaya reklamasi yang dilakukan pemerintah.”

“Bahkan, sekarang, lahan yang sudah direklamasi pun kembali dikeruk hingga hanya menyisakan sekitar 12 hektare saja,” kata Uha.

Utamakan Keberlangsungan Generasi Penerus

Oleh sebab itu, Uha berharap, pemerintah, baik kabupaten, provinsi hingga pusat. Agar lebih mengutamakan keberlangsungan hidup generasi penerus dengan menghentikan aktivitas tambang pasir di kaki Gunung Tampomas.

“Yang bisa menghentikannya ya pemerintah. Kalau alam tidak mau rusak, pemerintah harus mulai menghentikan aktivitas tambang pasir di sini.”

“Saat ini saja, warga sudah kesulitan mendapatkan air karena hulu/sumber mata airnya telah rusak, apalagi nanti, kasihan anak cucu kita nantinya.”

“Jadi, tolong sampaikan ke Pak Gubernur untuk menghentikan aktivitas galian pasir di sini. Itu saja keinginan bapak mah,” harap Uha.

Uha Juhari Tutup Usia pada 2020

Uha Juhari, yang merupakan tokoh reklamasi asal Sumedang ini tutup usia pada tahun 2020 (Di usia 74 tahun).

“Bapak ngantunkeun tahun 2020 (Ayah meninggal pada tahun 2022),” ucap Sujana Kosim, anak Uha Juhari yang kini meneruskan perjuangan sang ayah dalam mereklamasi lahan bekas galian di kaki Gunung Tampomas. Ketika ruber.id hubungi beberapa waktu lalu.

Semoga, perjuangan almarhum dalam menghijaukan kembali lahan kritis bekas galian ini menjadi amal kebaikan dan menempatkan almarhum di surganya Allah SWT. Dan perjuangannya, dapat diteruskan oleh generasi penerus setelahnya.