Penjelasan Walhi Terkait Penyebab Banjir Bandang Citengah Sumedang

Penjelasan Walhi Terkait Penyebab Banjir Bandang Citengah Sumedang

BERITA SUMEDANG.ruber.id – Berdasarkan hasil asesmen Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, banjir bandang yang terjadi di Desa Citengah dan Desa Cipancar Kecamatan Sumedang Selatan pada Rabu (4/5/2022) sekitar pukul 17.00 WIB. Lebih disebabkan karena curah hujan yang tidak mampu terserap oleh hutan Gunung Kareumbi sebagai kawasan hulu sungai.

“Air hujan yang jatuh dengan intensitas tinggi tidak mampu terserap kawasan hutan Gunung Kareumbi.”

“Sehingga langsung mengalir ke Sungai Citengah dan Sungai Citundun sebagai water runoff pada saat yang bersamaan hingga meluap,” kata Meiki W Paendong dari Walhi Jawa Barat saat menyampaikan analisa hasil Asesmen Cepat Bencana Alam Banjir Bandang Citengah.

Meiki menjelaskan, banjir bandang di Desa Citengah dan Desa Cipancar terjadi akibat aliran Sungai Cihonje yang meluap setelah mendapat kiriman air (water run off). Dari dua sungai sedang yaitu Sungai Citengah dan Sungai Citundun, ditambah dua sungai kecil (selokan) yang bermuara ke Sungai Citengah.

“Volume air Sungai Citengah dan Sungai Citundun sudah mengalami penambahan debit air lebih besar dari kondisi alami sebelum masuk ke Sungai Cihonje.”

“Salah satu buktinya adalah area dalam aula kantor Desa Citengah terkena luapan air Sungai Citengah, padahal posisi kantor Desa Citengah berada cukup jauh dari aliran Sungai Cihonje,” ujarnya.

Menjawab pertanyaan, apakah banjir bandang dipengaruhi pertumbuhan tempat wisata Cisoka dan Margawindu, kemungkinannya tidak ada, mengingat lahan yang difungsikan untuk sarana wisata dan dikelola oleh warga setempat tersebar secara acak serta tidak mendominasi lanskap perkebunan.

“Jika dipersentasekan, perbandingan seluruh luas lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata tidak mencapai 1% dari total luas area perkebunan,” tuturnya.

Ia menambahkan, kawasan hulu sungai dan kawasan sekitar lokasi kejadian banjir bandang secara umum masih memiliki kemampuan sebagai kawasan tangkapan air.

“Hal ini dibuktikan dari vegetasi hutan primer heterogen Taman Buru Gunung Kareumbi di sisi Selatan dan Timur lokasi banjir bandang yang masih sangat lebat,” ucapnya.

Sementara di kawasan perkebunan teh Margawindu juga menurutnya masih cukup baik yang ditandai oleh dominasi tanaman teh dan pohon kayu.

“Jadi, perkebunan Margawindu secara ekologi tidak banyak menghasilkan run off atau air larian yang masuk ke sungai saat turun hujan.”

“Namun demikian, memang permasalahan banjir bandang selalu mengarah pada dugaan adanya alih fungsi lahan di kawasan hulu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dari hasil observasi tidak ditemukan alih fungsi lahan berskala besar dan luas secara permanen di kawasan hulu yang terindikasi menghasilkan air larian dengan volume besar.

“Taman Buru Gunung Kareumbi dan Perkebunan Margawindu masih sangat baik sebagai daerah tangkapan air atau water catchment area,” tuturnya.

Menurutnya, yang harus menjadi perhatian justru adanya sarana wisata yang dibangun di sempadan sungai yang sangat rentan terkena luapan sungai.

“Mengingat karakterisktik sungai memiliki daya rusak saat meluap atau banjir bandang, hendaknya ada perhatian khusus untuk tempat-tempat wisata di sepanjang sempadan sungai,” ucapnya.